Apalah arti sebuah nama.
Nama saya Ridho, lengkapnya Ridho Adha.
Cerita ini saya curahkan dan tujukan untuk ibu saya. ( Bukan yang difoto. Itu bukan ibu saya. )
Pagi hari, adalah hari dimana saya, baik ibu juga ayah, bahkan adik terbangun dari tidur. Pukul 4 kadang 5 pagi, saya dan ibu pergi ke pasar. Terkadang ibu dan ayah, kadang ibu dan adik saya, dan terkadang.. ibu saya sendiri pergi.
Hingga hari itu saya pergi dengan ibu, itu untuk yang kesekian kalianya. Pukul 4:32 kami bangun, ayah juga. Namun ayah sibuk dengan lontong dan kuah pecal untuk dijual pagi itu. Bukan hanya pagi itu, tapi hampir setiap hari. Miso, soto, lotek dan pecal juga ada.
Saya dan ibu saya pergi, dengan motor.
Singkat cerita, kami tiba di pasar. Nama pasarnya pasar Dupa. Jarak dari rumah menuju pasar cukup jauh. Kami menghabiskan waktu 30 menit untuk pergi-pulang.
Motor sudah diparkirkan, dan kami pergi belanja.
Seperti biasa ibu saya belanja dengan langganannya.
Saya bingung dengan ibu saya. Kenapa ibu mau jualan sayur ya?
Padahal kalau kalian mau tau, dari berdagang sayur itu kami hanya mendapatkan untung 500 - 1000 rupiah saja. Ibu saya tidak pernah mengambil untuk banyak, hingga 1500 rupiah ibu saya tidak mau.
Belanja pagi2, dan menjualnya dengan harga yang... ya... untung 500 - 1000 rupiah?
Pernah saya ketika meladeni pelanggan, saya jengkel. Tapi saya tetap ramah.
"Berapa ikan nila, mas?"
"40, buk."
Si ibu melihat saya, "Mahal banget, 35 ya?".
Saya senyum2 saja.
Ikan Nila yang dibeli ibu saya di pasar harganya 34 ribu.
Sudah begitu sayuran. Dan ..
"Sawi nih berapa?"
Saya pergi nimbang, lalu saya hitung. "5000, buk.".
"Wah, mahal. 4000 ya?"
Padahal untung kami dapat hanya 500 rupiah.
-
Sedikit curhat, warung kami bersebelahan dengan warung lain. Dan di warung itu mereka mencari untuk bisa lebih dari kami.
Foto saya ambil dari Google. Sekarang di depannya sudah ada meja tempat meletakkan sayuran. Ya, sayuran yang sering ditawar gila2an harganya. Hhhhh...
-
Pagi itu kami belanja sangat banyak. Tidak seperti biasanya, sangat banyak.
Maaf kalau kurang jelas. Kamera hape saya tidak begitu bagus. Maklum, masih pakai Nokia saya.
Motor saja sampai penuh. Itu sudah pakai karung, dan beberapa belanjaan lainnya disangkutkan.
-
Dan selama di perjalanan saya terus bergumam, "IBUKU PAHLAWANKU.".
Ayah?
Lain kali saya ceritakan tentang ayah saya.
-
Saya sebenarnya tidak marah karena banyak yang suka nawar, tapi menawarnya gila banget. Bisa bangkrut kami itu.
Menawar memang sudah menjadi bagian dari berdagang, tapi setidaknya, hargai para pedagang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar